Senin, 11 Mei 2015

Bertaruh Nyawa Mencari Red Arwana



Batu Akik Red Arwana (Carnelian Calsedony)

Kapuas Hulu mulai menjadi sorotan para pecinta batu akik di Kalimantan Barat. Salah satu jenis batu yang paling diminati masyarakat adalah batu red arwana (carnelian calsedony). Meski belum setenar batu bacan dari halmahera, red arwana juga mampu laris di pasaran lokal dan nasional. Tertarik mengulas lebih dalam tentang red arwana, media ini mencoba menelusuri asal muasal batu tersebut.

Adalah Oniet, warga Desa Lunsara, Kecamatan Putussibau Selatan, salah satu pencari batu red arwana yang berhasil ditemui. Ia pun menceritakan perjuangannya bersama rekan sekampungnya mencari krikil-kerikil red arwana yang ternyata beresiko tinggi terhadap nyawa mereka.
Oniet yang tampak ditemani dua orang putra dan istrinya yang sedang hamil menceritakan, pencarian red arwana dimulai dari desa Lunsara menuju desa Sepan. Perjalanan ke desa Sepan membutuhkan waktu satu hari satu malam dengan menggunakan long-boat, melewati beberapa riam (sunggai bebatuan dengan arus yang deras). “Kami berangkat selalu rombongan, biasa 5 atau 10 orang. Jadi kalau kesepan kadang kalau lewat riam perahu di pikul,” ungkapnya, setiba di Sepan rombongan pencari batu melapor dengan Kades setempat dan membayar retribusi desa Rp 100 ribu, supaya bisa ijin naik kelokasi sumber batu.
Oniet Menunjukan Batu Red Arwana

Selanjutnya, tambah Oniet, dari desa Sepan menuju lokasi sumber batu harus menempuh perjalanan 3 jam dengan berjalan kaki. Perjalanan pun tidak lah mudah, harus mendaki batu tengilas (batu cadas di perbukitan) dengan titian pancang kayu dan akar-akar pepohonan seadanya. “Tinggi tengilas itu sekitar 20 meter sampai 30 meter, kalau kita terpeleset bisa meninggal. Ada dua tengilas yang harus dilewati. Selain itu ada dua bukit yang harus dilintasi baru sampai ke dalam goa dimana batu-batu itu berada,” ungkapnya.
Dipaparkan Oniet, batu-batu red arwana tersebut tidaklah berserakan dilantai goa, melainkan di dalam lubang-lunbang yang ada pada dasar sungai, tepat ditengah-tengah goa tersebut. “Kami harus menyelamnya, tanpa mesin kompesor, karena masyarakat desa setempat tidak memperbolehkan menggunakan mesin itu. Takut batu cepat habis,” ujarnya.

Sungai didalam goa tersebut berarus deras, warna airnya pun merah pekat sehingga susah melihat bebatuan didalamnya. Pada bagian dasar sungai ada lubang-lubang batu yang cuma cukup masuk satu badan manusia. Saat memasuki lobang itu ada ruangan yang luas, didalamnya bisa sampai satu ton batu dengan berbagai jenis. “Sebagian lobang lainnya cuma bisa dimasukan dengan tangan,” ungkap Oniet.

Bongkahan Kerikil Red Arwana
Agar dapat keluar dengan selamat, memang ada teknik saat menyelam batu red arwana. Para penyelama memasang kayu yang ditancapkan dari permukaan sungai hingga ke dasar goa di dalam sungai tersebut. “Kayu itu untuk tanda yang disusur saat menyelam masuk kedalam sungai, kemudian baru dimasukan kedalam ragak (tempat membawa batu), baru timbul,” papar Oniet.
Kalau cuaca bagus, para pemburu batu hanya butuh 4 hari untuk mengumpulkan puluhan kilogram red arwana. Tapi kalau cuaca kurang bersahabat, tidak satu pun pencari batu berani menyelam, karena air yang berada di dalam lobang batu arusnya juga menjadi deras.  “ Kalau mencari batu itu kami biasanya bawa bekal, bawa tenda dan pakaian seadanya. Kadang 2 hari baru bersalin pakaian,” tutur Oniet.
Saat pulang, setiap pencari batu bisa membawa 32 Kg hingga 50 Kg batu, tergantung pada fisik masing-masing sebab mesti melewati perbukitan dan tengilas lagi. “Kami pulangnya tetap rombongan, karena saat melewati tengilas batu-batu yang dibawa harus diulur dari atas bukit menggunakan akar duri, nanti ada yang mengulur dan menyambutnya. Saat pulang membawa batu dari bukit ke desa kami, bisa sampai 4 hari perjalanan, jadi dari berangkat hingga pulang membutuhkan waktu semingguan,” ungkapnya.
Saat ini warga mulai meninggalkan aktifitas pertamabangan emas rakyat untuk mencari batu red arwana. Bahkan di dalam goa sumber batu tersebut sudah ada ratusan masyarakat yang mengantungkan hidupnya disana. “Penghasilan dari batu ini tidak tentu, seminggu kadang dapat 3 juta, kadang hingga 12 juta,” tutupnya. (penulis: yohanes santoso)